Senin, 09 Januari 2017

Periode Kelabu Dunia Islam



Abul A’ la Almaududi, dalam bukun ya “Al-Islam Al-Yaum” (Islam Masa Kini) mengatakan, bahwa periode kelabu dunia Islam dimulai pada masa Kerajaan Bani Umayyah. Pada masa itu wilayah kerajaan Islam terbentang ke seluruh penjuru dunia, dan cahayanya pun menyinari kawasan yang sangat luas, jumlah kaum Muslimin sudah demikian banyak. Dengan demikian persoalan yang dihadapi penguasa pada saat itu semakin banyak dan kompleks. Di sisi lain, melimpah-ruahnya kekayaan membuat para penguasa dihinggapi penyakit “hubbuddunia wa riyasah” (cinta dunia dan haus kekuasaan). Akibatnya persoalan ummat yang sudah demikian banyak kurang memperoleh perhatian yang memadai, khususnya dalam dunia pendidikan dan pembinaan ummat. Meskipun rasa kagum dari kalangan orang-orang yang baru masuk Islam terhadap ajaran-ajaran Islam terus meningkat, dan mereka pun tunduk kepadanya secara ikhlas dan murni, namun aspek prilaku hidup mereka belum terbentuk secara kaffah (sempurna) sebagaimana yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Kondisi semacam ini, pada gilirannya, bisa mengarah kepada perubahan yang cukup signifikan dalam sistem kehidupan ummat Islam. Yaitu, mulai bergesernya sistem kekhilafahan menuju kepada sistem kesulthanan (kerajaan). Memang banyak hal sebenarnya yang mempengaruhi adanya arus perubahan ini. Namun menurut Maududi, penyebab yang paling utama adalah surutnya jumlah kaum Muslimin yang memikirkan dan menyadari akan hakikat ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Pada saat yang sama. orang-orang yang kurang memahami hakikat ajaran Islam sehingga prilaku mereka tidak sesuai dengan ajaran Islam, jumlahnya semakin banyak. beum lagi tindakan para penguasa yang memang tidak konsisten terhadap ajaran Islam. Akibatnya, ajaran Islam yang “rahrnatan lii ‘alamin” menjadi semakin kabur.

Dalam kondisi seperti itu, penyelamatan masyarakat dari arus kuat yang mengikis kesadaran mereka terhadap ajaran Islam yang benar dari pencegahan terhadap berjangkitnya kerusakan moral, menjadi suatu hal yang sulit dilakukan. Maka akibatnya, sistem kekhilafahan yang pernah jaya di masa lalu yang sempat mengukir Zaman Keemasan menjadi tergeser dan digantikan dengan sistem kesulthanan yang cenderung otoriter. Peniode ini berlangsung dalam kurun yang cukup lama hingga berabad-abad dalam sejarah kaurn Muslimin.

1. Disintegrasi Kepemimpinan Menurut Maududi, awal kerusakan utama yang menimpa kaum Muslimin pada periode kesulthanan ini adalah adanya dikhotomi (pemisahan) kepemimpinan di kalangan kaum Muslimin pada saat itu. Pola kepempimpinan ini bertolak belakang dengan sistem kepemimpinan integral yang dibangun dan diterapkan pada masa Rasulullah saw. dan masa Khulafaur Rasyidun.

Baik Rasul maupun para Khulafaur Rasyidun mencakup seluruh aspek kehidupan. Mulai dan aspek pembinaan rohani, keilmuan dan pemikiran, sampai kepada aspek politik, ekonomi, sosial dan pertahanan. Walhasil, mencakup aspek-aspek yang bersifat hablun minallah maupun aspek-aspek yang bersifat hablun minannas. Para penguasa tidak hanya bertanggungjawab dalam soal politik dan kepemerintahan, tapi juga bertanggungjawab dalam soal keilmuan dan pemikiran, termasuk pendidikan dan pembinaan ummat.

Akan halnya pada masa periode kesulthanan, para penguasa hanya terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan urusan politik dan kepemerintahan. Sementara hal-hal yang menyangkut keilmuan, pemikiran dan pembinaan ummat diserahkan kepada ulama, ahli fiqih maupun ahli tasawuf. Pemisahan kepemimpmnan inilah yang menurut Maududi sebagai pangkal kelumpuhan dunia Islam. Karena pada gilirannya, para penguasa yang telah terjangkiti penyakit hubbudunia wa riyasah itu cenderung otoriter dan tabu kritik. Bahkan gaya, prilaku dan tutur katanya pun menjadi jauh dari akhlak Islam. Dengan demikian kepemimpinan politik mendominasi segala aspek kehidupan. Di sisi lain, para ulama tidak rela masalah-masalah yang berkaitan dengan diri (keagamaan) dibawa-bawa ke arah kepentingan politik. Mereka khawatir, kaidah-kaidah syari’ah dan akhlak Islam tercemari oleh kepentingan-kepentingan politik. Akibatnya, timbullah kesenjangan antara dua kutub kepemipinan tersebut. Bahkan pada beberapa kurun waktu tertentu, kesenjangan itu menajam Sehingga membuahkan sikap saling bermusuhan antara keduanya. Sikap tolong-menolong dan saling membantu yang sebelumnya terjalin erat menjadi sirna. Kondisi dikhotomi kepernimpinan semacam ini masih dapat disaksikan di zaman kita sekarang ini. Sekedar contoh di Indonesia misalnya, dua ormas Islam terbesar, Muhammadiyah dan NU, tidak mau melibatkan dirinya secara langsung pada kepemimpmnan politik. Mereka mengkhususkan garapannya pada bidang pendidikan dan sosial, seolah-olah masalah politik bukan merupakan bagian integral al-Islam.

Sejarah telah mencatat, bahwa pada periode kesulthanan ini, para sulthan (penguasa) telah melakukan ekspansi politik ke berbagai wilayah lain dan meraup harta kekayaan mereka secara kasar dan berlebihan, demi memperkokoh kekuasaannya belaka. Sikap yang tidak terpuji ini bukan saja akan mendatangkan kesengsaraan masyarakat penduduk yang ditaklukkan, tapi juga menodai citra Islam sehingga orang tidak tertarik lagi pada pemermntahan Islam. Lebih dari itu, nasihat dari para ulama yang tulus sudah tidak lagi mendapat perhatian oleh pihak penguasa. Kondisi semacam ini tentu saja memperburuk kualitas ummat. Di satu sisi, ummat sudah tidak lagi memperoleh perhatian dan keteladanan yang baik dari pihak penguasa, dan di sisi lain para ulama dengan segala keterbatasannya, karena tanpa dukungan dari penguasa, tidak memiliki kemampuan yang berarti untuk membina ummat yang jumlahnya semakin banyak. Padahal diantara kewajiban pemerintah Islam adalah menjaga kualitas ummat, dengan membina ‘aqidah maupun akhlak mereka. terutama generasi mudanya dari golongan muallaf (orang-orang yang baru masuk Islam).

Ketidakpedulian pihak penguasa terhadap pembinaan ummat sudah barang tentu berakibat fatal. Untunglah rnasih ada sejumlah ulama yang masih konsisten mengemban misinya sebagai “waratsatul aribiya’”, membina ummat, meski harus berjalan sendiri-sendiri, tanpa kordinasi dan dukungan dari pihak penguasa. Demikian juga para dermawan yang masih punya rasa tanggungjawab untuk mewakafkan sebagian harta mereka untuk mendirikan madrasah-madrasah dan masjid-masjid sebagai sarana pembinaan ummat. Meski demikian, hasilnya tidak sebagaimana yang diharapkan. Secara kuantitas jumlah ummat bertambah, tapi kualitasnya menurun. Kondisi semacam ini, terus berlanjut sampai pada zaman kita sekarang ini. Kita bisa saksikan di banyak negara, berjuta-juta kaum Muslimin yang sangat dangkal pengetahuan ke-Islamannya, sehingga amaliyah mereka jauh dari ajaran-ajaran Islam yang benar, baik dalam ubudiyah maupun mu’ amalah. ‘Aqidah mereka juga masih sangat lemah, sehingga mudah dicemari oleh tradisi yang berbau khurafat dan syirik.

2. Tumbuhnya Fanatisme
Akibat lain dari lemahnya pembinaan ummat pada periode ini adalah tumbuhnya fanatisme ras, kesukuan, golongan dan ketanahanan, sehingga ummat terjebak dan terkungkung pada belenggu- belenggu fanatisme yang sernpit. Padahal fanatisme yang semacam itu telah dikikis habis pada masa Rasul ullah saw. dan para Khulafaur Rasyidun. Penyakit fanatisme sempit inilah yang menurut Maududi merupakan sebab utama bagi runtuhnya dinasti Bani Umayyah di Andalusia, sehingga menjadikan mereka terpecah-belah, berkeping-keping. Bahkan satu sama lain saling bermusuhan dan saling menjatuhkan. Hal ini juga terjadi di berbagai kawasan dan wilayah yang sudah berada dalam kekuasaan kaum Muslimin.

Pada masa kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidun. Allah swt. telah menyatukan hati Kaum Muslimin dengan ikatan ketauhidan yang murni dan ketaqwaan yang demikian kokoh, sehingga mereka menjadi kesatuan ummat yang solid. tak tergoyahkan oleh kekuatan apapun yang datang dari luar. Namun, akibat terpaan gelombang “hubbudunia wa riyasah”, dan terabaikannya pembinaan ummat akibat para elit berebut pengaruh dan kekuasaan, maka tahap demi tahap ikatan ketauhidan dan ketaqwaan itu menjadi lemah, sehingga kaum Muslimin terjerumus dalam kancah pertentangan yang didasari fanatisme kesukuan dan golongan yang sempit itu. Kondisi semacam ini masih terlihat jelas penganuhnya sampai pada zaman kita dewasa ini. Bagaimana kondisi Timur Tengah, mulai dari Saudi Arabia, Iran, Afghanistan, Turki, Pakistan, Mesir, sampai India dan wilayah-wilayah Islam lainnya dewasa ini? Bahkan imbasnya masih kuat terasa di negeri kita ini, Indonesia. Itulah rahasia kemunduran dan bobroknya kaum Muslimin sehingga berbagai wilayah yang di bawah kekuasaannya. sedikit demi sedikit terlepas dari tangan mereka. Dan itulah dampak buruk dari sistem kesulthanan yang diwaniskan kepada generasi kaum Muslmin dewasa ini. Para sulthan telah mengeksploitir fanatisme sempit itu untuk kepentingan pemenuhan ambisi kekuasaan mereka. sebagaimana yang dilakukan Bani Abbas untuk menyingkirkan dinasti Bani Umayyah. Begitulah bahaya fanatisme jahiliyyah yang tumbuh dan berkembang di masa periode kedua dalam perjalanan sejarah Dunia Islam, yang hingga kini masih menjadi “luka kronis” di tubuh kaum Musilmin.

3. Egoisme dan Perbudakan Nafsu
Penyakit lain yang dilahirkan oleh peniode kesulthanan ini adalah, melunturnya komitmen kaum Muslimin terhadap prinsip-pninsip keIslaman mereka di satu sisi, dan menguatnya komitrnen mereka terhadap nilai-nilai materi, ikatan-ikatan kesukuan dan pemenuhan hawa nafsu di sisi lain. Pad ahal, al-Islam di masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidun telah berhasil menghapus berbagai bentuk loyalitas kepada apa dan siapapun selain mentauhidkan Allah swt. Karena satu-satunya komitmen dan loyalitas yang harus dimiliki oleh setiap Muslimin hanyalah tertuju kepada Allah, Rasul-Nya dan Dienul Haq, yaitu al-Islam. Manakala komitmen dan loyalitas yang hak itu kendur dan melemah, maka kedudukannya akan diganti oleh komitmen dan loyalitas kepada yang bathil. Ini adalah sudah menjadi Sunnatullah. thabiat manusia. Kapan dan di mana saja, manakala seseorang atau suatu bangsa sudah tidak lagi mengerahkan dan mengarahkan segenap perhatian dan kemapuannya untuk memperjuangkan prinsip-prinsip hidup yang hak, maka mereka tentu akan mengerahkan dan mengarahkan segenap potensinya itu kepada nilai-nilai kebathilan, yang tidak lain pemuasan hawa nafsu, baik untuk dirinya maupun kroni-kroninya. “Famaadza ba ‘dal haq illa-dhalal” (Bukankah tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kebathilan? QS. 1O;32),

Nah. komitmen terhadap nilai-nilai dunawi dan bendawi inilah yang kemudian menjerumuskan kaum Muslimin di masa periode kelabu ini ke jurang perbudakan. Sejumlah kaum Mushimin, termasuk kalangan elitnya, bersedia menjadi kaki tangan para penguasa yang zhalim, baik dari kalangan penguasa yang Muslim maupun penguasa yang kafir (penjajah) yang datang dari daratan Eropa. Demikian rendahnya komitmen mereka terhadap al-Islam, sehingga dapat dibeli dengan harga yang demikian murah. Betapa banyak kaum Muslmin yang bersedia menjadi tentara “sewaan” dan kaki tangan untuk kepentingan kaum penjajah. Apakah mereka tidak sadar, atau karena kebodohannya, bahwa di balik penjajahan itu akan terjadi malapetaka yang amat dahsyat. Semua ini terjadi, tidak lain karena mereka sudah tidak lagi memiliki komitmen terhadap prinsip-pninsip al-Islam yang luhur itu, sehingga dengan mudah mereka berbelok mengarah kepada komitmen terhadap prinsip-prinsip hidup yang rapuh dan rendah. Penyimpangan komitmen yang berakar pada prinsip-prinsip bendawi (materi) inilah yang menyebabkan jatuhnya wilayah-wilayah Islam di berbagai penjuru, mulai dari belahan barat (Eropa) sampai belahan timur (Asia).

0 komentar: