Sabtu, 13 Mei 2017

Prinsip-Prinsip Dalam Memahami Hadist


Sesuai dengan disiplin keilmuannya. masing-masing ahli mengedepankan rumusan definisi yang berbeda-beda tentang pengertian hadits nabi Hal ini nampaknya dilatari oleh perbedaan sudut pandang mereka dalam melihat jati diri Muhammad; ulama ushul, misalnya, lebih memandang Nabi Muhammad sebagai musyarri (penetap hukum), karenanya mereka memberikan batasan hadits nabi sebagai apa yang berasal dari Nabi Muhammad, khususnya yang menyangkut masalah hukum, tidak termasuk bidang aqidah. Sementara itu, ulama muhadistsin lebih memandang profil Muhammad sebagai uswah hasanah, pemimpin paripurna yang harus diteladani ummat dalam seluruh aspek kehidupannya. Itulah Sebabnya, muhaditsin mendefinisikan hadits sebagai segala yang berasal dari Muhammad, baik sebelum bi’tsah (sebelum diangkat menjadi rasul) maupun sesudahnya.

Meskipun berbeda dalam perumusan definisi, tetapi mereka telah sepakat atas kedudukan hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Tentang pemosisian hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an ini, minimal ada tiga alasan mendasar yang melatarbelakanginya, yaitu: Pertama, al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir karenanya Ia bersifat qath’ial-wurud (diterima secara meyakinkan), sedangkan hadits hanya diriwayatkan secara ahad karenanya bersifat Zhann al-wurud, kecuali hadits mutawatir yang Secare kuantitas jumlahnya sangat terbatas sekali. Kedua, fungsi utama hadits adalah Sebagai bayan atau penjelas al-Qur’an. Dan Ketiga, adanya penegasan dan dalil naqli, baik berupa al-Qur’an maupun hadits. Yang berupa al-Qur’an, antara lain. ditegaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 59. Adapun yang berupa hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang memuat dialog Nabi dengan Mu’adz bin Jabal ketika diangkat menjadi gubernur Yaman.

Bertolak dari kedudukannya (baca: hadits) sebagai sumber kedua ajaran Islam, maka upaya pemahaman secara benar terhadapnya merupakan suatu kebutuhan yang bersifat mutlak bagi setiap Muslim. Sebab, ketepatan pemahaman terhadapnya menjadi prasyarat atas ketepatan pemahaman dari pengamalan ajaran Islam. Sebaliknya, kekeliruan dalam memahami hadits akan berimplikasi pada kekeliruan dan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Adapun untuk dapat memahami hadits secara benar, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1. Memahami hadits berdasarkan petunjuk al-Qur’an.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa fungsi utama hadits adalah sebagai bayan atau penjelas al-Qur’an. A1-Qur’an merupakan ruh dan fondasi bangunan Islam, yang keberadaannya sebagian besar masih bersifat mujmal (global), sedangkan hadits memberikan rincian lebih lanjut terhad ap ke-mujmal-an al-Qur’an itu, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Pada dataran teoritis hadits memberikan rincian pemahaman terhadap globalitas al-Qur’an. Sedangkan pada dataran praktis, hadits menjelaskan operasionalisasi petunjuk al-Qur’an kedalam kehidupan nyata. Jadi, hadits memiliki nilai transformatif dan aplikatif.

Logika pemikiran yang lurus menegaskan bahwa penjelas itu tidak boleh bertentangan dengan yang dijelaskannya. Implikasinya, karena hadits merupakan penjelas al.Qur’an, maka hadits yang sudah terbukti kesahihannya mesti sejalan dengan al-Qur’an. Dengan kata lain, hadits yang sah tidak akan kontradiksi dengan al-Qur’an. Jika ada Sementara pihak yang menduga adanya kontradiksi antara hadits dengan al-Qur’an, maka mesti ada beberapa kemungkinan yang mesti dapat dijelaskan terhadap kasus ini, di antaranya adalah Pertama, hadits yang kontradiksi dengan Qur’an itu tidak sahih Kedua, kekeliruan dalam memahami hadits dan atau juga al-Qur’an; Ketiga, kontradiksi antara keduanya hanya bersifat nisbi, bukan hakiki. Dengan demilkian sebagaimana disimpulkan Dr. Yusuf Qardhawi bahwa hadits itu harus dipahami berdasarkan petunjuk al-qur’an. Karena hadits yang kontradiksi dengan al-Qur’an itu mesti tidak sahih, maka hadits yang demikian ini harus ditolak. Hadits al-Gharaniq hadits bikinan kaum zindiq yang di dalamnya memuat suatu pujian pada berhala, dan juga menjelaskan bahwa bintang-bintang itu benar-benar dapat memberikan syafaat di hari kiamat,, misalnya merupakan salah satu hadits yang harus ditolak karena kandungannya bertentangan dengan prinsip umum ajaran Islam dan khususnya QS. an-Najm ayat 19-23, yang pada prinsipnya mengecam keras adanya tuhan-tuhan palsu selain Allah.

2. Memahami hadits dengan pendekatan tematik.

Sebagai bayan al-Qur’an, hadits tidak pernah menjelaskan satu topik kajian melalui satu hadits saja, melainkan oleh beberapa buah hadits. Dengan kata lain, suatu topik kajian tertentu tidak pernah diuraikan secara tuntas oleh satu hadits saja, melainkan mesti dilengkapi dan disempurnakan oleh beberapa hadits lainnya. Implikasinya, ketuntasan pemahaman itu baru akan dicapai jika didasarkan pada semua hadits yang memuat tema bahasan yang sama. Pengambilan makna lahiriyah suatu hadits tanpa mengkontekstualisasikan dengan hadits-hadits lain yang semakna akan berimplikasi pada pemahaman yang bersifat parsial, dan yang demikian ini kata Dr. Yusuf Qardhawi merupakan kesalahan fatal dalam pemahaman hadits.

Misi utama pendekatan tematik ini adalah untuk menemukan konsep utuh pandangan Islam terhadap suatu persoalan tertentu dan sekaligus sebagai solusi terhadapnya. Karena itu, agar misi ini tercapai, maka diperlukan adanya langkah-langkah kerja sebagai berikut: Pertama, menetapkan tema kajian. Memang, pendekatan tematik dapat menampung semua persoalan, tetapi agar kajiannya tak bersifat teoritisan sich, maka masalah-masalah aktual yang langsung berkaitan dan dirasakan masyarakat harus diprioritaskan. Terlebih lagi yang paling mendesak untuk segera dicarikan alternatif pemecahannya. Kedua, menghimpun hadits-hadits yang memiliki relevansi dan kaitan dengan tema kajian. Prihal penghimpunan ini, kata muhaditsin, tidak selalu semua hadits yang berkaitan dengan tema kajian harus dihimpun. Boleh saja, kata mereka, hadits-hadits yang diduga kuat telah terwakili oleh hadits lain tidak diangkat atau dihimpun. Ketiga. mengangkat kembali tema di atas dan mendialogkannya dengan hadits-hadits yang telah dihimpun dalam langkah kedua di atas. Dan sinilah akan ditemukan pandangan utuh Islam atas tema kajian yang diangkat di atas.

3. Memahami hadits berdasarkan latar belakang, kondisi serta tujuannya.

Jika al-Qur’an memiliki ashabun nuzul, maka sebagian besar hadits Nabi memiliki asbabul wurud. Dengan kata lain, hadits-hadits itu biasanya muncul karena dilatari oleh kondisi dan situasi, persolan dan tujuan tertentu. Itulali sebabnya, kata Dr Yusuf Qardhawi, sebagian besar hadits bersifat kontemporer, detail dan berkaitan dengan tempat. Oleh karena itu, untuk dapat memahami hadits mutlak diperlukan pengetahuan tentang latar belakang, kondisi serta tujuan kemunculannya. Pemahaman mendalam tentang ketiga hal itu akan sangat membantu terhadap upaya pencapaian pemahaman hadits secara benar dan lurus.

4. Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap (permanen) dari setiap hadits.

Di samping memiliki unsur tujuan, setiap hadits juga memiliki unsur yang berupa sarana untuk mencapai tujuan itu. Unsur tujuan, yang identik dengan tujuan ajaran Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan, bersifat permanen dan tetap. Sedangkan sarana ada kalanya beruhah-ubah sejalan dengan perubahan situasi, kondisi, waktu dan tempat. Karenanya, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadits, maka kedua unsur tersebut harus dipahami dan ditempatkan pada proporsinya masing-masing. Sebagian besar kekeliruan dalam pemahaman hadits adalah disebabkan oleh pencampur adukan antara unsur tujuan dan sarana ini. Bahkan lebih ironis bagi unsur sarana yang semestinya bersifat temporal ditempatkan sebagai tujuan yang bersifat permanen dan tak berubah.

Sebagai misal dalam hal ini adalah sejumlah hadits nabi tentang cara-cara pengobatan penyakit. Dalam konteks ini. Imam Ahmad dan Nasa’i melalui Anas telah meriwayatkan bahwa metode pengobatan terbaik adalah “berbekam’ dan dengan menggunakan qusthul bahr (sejenis kayu yang dapat dijadikan obat). Sementara itu, Imam Bukhari dengan melalui Ummu Qais meriwayatkan bahwa “kayu cendana” merupakan penawar bagi tujuh macam penyakit. Selanjutnya, Ibnu Majah dan Tirmidzi dengan melalui sanad Ibnu Umar juga meriwayatkan bahwa ‘jintan hitam” mengandung penawar segala penyakit,. selain kematian.

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi. berbagai jenis pengobatan yang dijelaskan dalam hadits-hadits di atas hanya sebagai “sarana” yang mungkin akan berubah-ubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi, waktu dan tempat, bukan sebagai tujuan atau inti thibbaun nabawi. Sedangkan tujuan atau inti thibbun nabawi dalam hadits-hadits tersebut adalah menjaga kesehatan. kehidupan dan keselamatan tubuh manusia, sebagai realisasi perwujudan kemaslahatan. Karenanya, Ia bersifat permanen untuk segala zaman dan tempat.

5. Membedakan yang gaib dengan yang nyata (dapat ditangkap dengan indra lahir).

Di samping berisi penjelasan yang berkaitan dengan alam lahiriyah (indrawi), hadits juga memuat tema-tema yang berhubungan dengan alam metafisika (gaib). Terhadap hadits-hadits yang memuat penjelasan alam gaib, kata lbnu Taimiyab. rasio (akal) manusia tidak berwenang mentakwilkannya. Karena itu, kewajiban ummat Islam hanyalah menerimanya secara ta’abdudi, “kami beriman dan membenarkan”, tanpa menanyak.an “bagaimana”. Ringkasnya, sikap yang harus dinyatakan semua ummat Islam adalah al-iman wajib wa’al su’al bid’ah (mcmpercayai kebenaran hadits itu merupakan suatu kewajiban, dan menanyakan tentang bagaimana terhadapnya merupakan suatu bid’ah yang dilarang). Hal ini didasarkan pada QS. Ali Imran ayat ke tujuh, yang artinya “kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
 
Drs. Muniron BM 

0 komentar: