Minggu, 16 Juli 2017

Mencari Pemimpin Ideal


Kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat atau perkumpulan sangat penting, meskipun ia bukanlah segala-galanya.. Sebab sebagaimana diketahui bahwa perjalanan suatu masyarakat atau aktivitas dapat baik bukan semata-mata karena pemimpinnya, tapi tentu saja menyangkut hal-hal lain juga. Kita tidak meragukan kepemimpinan para nabi yang Allah swt. utus kepada Bani Israel. Namun karena dukungan dari ummatnya sangat lemah akhirnya tidak terbentuk rnasyarakat yang ideal. Oleh karena itu, di dalam Islam di samping diperlukan pemimpin yang baik dan berkualitas,juga harus dipersiapkan ummat yang siap mendukung program yang digulirkan oleh pemimpinnya. Yang kesemuanya itu tentu saja diperlukan pemahaman yang searah, yaitu sama-sama menuju kepada keridhaan Allah ‘Azza Jallah. Dalam istilah kajian lslamnya di istilahkan perlunya Qiyadah Mukhlishah (pemimpin yang ikhlash). dan Jundiyah Muthi‘ah (ummat yang taat).
Kemudian yang perlu juga diperhatikan dalam pembinaan generasi yang dipersiapkan untuk tampil di masa mendatang bukan hanva dibekali semangat untuk memimpin, tetapi juga pada saat yang bersamaan harus ditanamkan kesediaan untuk siap dipimpin. Jadi antara Qiyadiyah (semangat dan kesediaan untuk diberi amanah memimpin) dan Jundiyah (kesiapan untuk ditata) tertanam dalam waktu yang bersamaan. Sehingga tidak bersaing dan berebut untuk menjadi pemimpin dan tidak juga terlalu tawadhu’ sehingga sulit untuk diserahi tugas dan amanah. Memang kepemimpinan itu taklif (beban) bukan tasyrif (kemuliaan).

Al-Qur’an dan Kepemimpinan

Dalam istilah ke-Islaman, kepemimpinan disebutkan dengan beberapa istilah atau nama, di antaranya: imamah, ri’ayah, za ‘amah, imarah dan kadang-kadang disebut juga wilayah. Ayat-ayat yang menyebutkan pengertian di atas diantaranya terdapat pada surah: al-Baqarah l2: 124; an-Nisa’/4:59, 83, 139; al-Maidah/5: 51, 52, 57, 58, 80, 81; Hud/l1:17; Yusuf/12:72; Thaha 20:54; al-Anbiya’/21: 73; as-Sajdah/22:24; al-Mukminun/23: 8; al-Furqan/25: 74; al-Qalam/68: 40 dan al-Ma’arij/70: 32. Juga di beberapa tempat dipakai istilah khilafah, seperti terdapat di surah: al-Baqarah/l2: 30; al-An’am/6: 165; al-A’raf/7: 69, 74, 129; Yunus/l0: 14, 73; Hud/1l: 57;
an-Nur/24:55; an-Naml/27: 62; Fathir/35: 39; Shad/38: 26; al-Hadid/57: 7.

Hadits-hadits Tentang Pemimpin
Banyak sekali hadits-hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan pemimpin dan kepemimpinan. Di sini akan disebutkan beberapa saja. Mudah-mudahan dapat dijadikan masukan.

Artinya: Sesungguhnya iman (pemimpin) itu adalah (merupakan) perisai. (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin itu menjadi pelindung bagi orang-orang yang dipimpinnya, rnemperhatikannya dan membela nasibnya. Allah swt. memberikan gambaran kepribadian Nabi saw. yang merupakan pemirnpin teladan itu dalarn firrnan-Nya:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (‘keimanan dun keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mu‘min. (QS at-Taubah: 128).

Ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi saw. sebagai pemimpin ummat berasal dari kalangan orang yang dipimpinnya, yaitu manusia biasa, sehingga di antara beliau dengan ummatnya tidak ada jarak yang rnembuat kesenjangan diantara keduanya. Beliau turut merasakan persoalan ummat, tidak hanya hidup di menara gading. Keselamatan dan kebaikan ummatnya adalah keinginan beliau yang begitu besar. Dan sikap beliau dalam menghadapi ummatnya penuh dengan kasih sayang. Pemimpin yang memperhatikan dan menjadi pelindung bagi ummatnya adalah pemimpin yang akan dieintai pula oleh ummatnya.

Antinya: Apabila ada tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang menjadi pemimpin. (HR. Abu Dawud,).

Hadits ini menunjukkan adanya keteraturan di dalam masyarakat Islam. Sehingga sebenarnya tidak ada peluang untuk krisis kepemimpinan. Sebab jangankan dalam masyarakat yang mapan dan stabil, di perjalanan sekalipun Islam membimbing ummatnya agar tetap memperhatikan adanya kepemimpinan agar setiap aktivitas terkoordinasi dengan baik. Tentu saja yang diangkat menjadi pemimpin, khususnya di perjalanan adalah orang yang rmemiliki pemahaman yang baik, termasuk tentang liku-liku perjalanan, Dengan demikian kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan bij aksana.

Artinya: Apabila pemimpinmu adalah orang yang terbaik di antara kalian, dari orang-orang kaya di antara kalian adalah orang-orang yang murah hati, dan urusan kalian (selalu) dimusyawarahkan di antara kalian maka hidup itu lebih baik dari pada mati. Dan apabila pemimpin kalian adalah orang yang jahat, orang kayanya bakhil, dan urusanmu diserahkan kepada wanita, maka mati itu lebih baik daripada hidup. (HR. Tirmidzi).

Pemimpin yang diangkat haruslah orang yang terbaik. Baik dari sisi Akhlaq dan prilaku. Suatu bencana bagi ummat kalau pemirnpin yang diangkat adalah orang-orang yang bermoral bejat. Oleh karena itu perlu mekanisme yang baik untuk menyeleksi para ealon pemimpin, sehingga yang nantinya tampil dan diserahi amanah betul-betul orang yang terbaik, atau paling tidak, baik. DR. Yusuf Qardhawi mengusulkan hal tersebut dalarn bukunya “Aulawiyat Harakah Islamiyah Fil Marhalatil Qadimah” (Prioritas Gerakan Islam) dan sub pembahasan “I’dad Al-Qiyadat Lil Mustaqbal” (Mempersiapkan Pemimpin Masa Depan). Dan kepemimpinan ummat secara umum tidak boleh diserahkan kepada wanita. Nabi saw. bersabda:

Artinya: Suaiu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita tidak akan bahagia. (HR. Bukhari).

Artinya: Barangsiapa yang mengangkat seseorang dari satu golongan, sedang di antara mereka ada orang lain yang lebih berhak (lebih mampu dan ikhlash karena Allah), maka orang tersebut benar-benar telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslimin semuanya. (HR. Hakim).

Mengangkat pemimpin untuk ummat Islam hanya dengan pertimbangan golongan atau kelompok, padahal ada orang yang lebih laik, hanya karena bukan dari golongannya, adalah perbuatan yang terlarang dalam Islam. Dan hal itu menunjukkan masih adanya sisa-sisa pemikiran jahiliyah padanya. Di antara dampak negatif adanya kelompok-kelompok di kalangan kaum Musliniin adalah sikap seperti diatas. Ashabiyah tersebut menghilangkan profesionalisme. Apalagi kadang-kadang terjadi kalau ternyata dari golongannya tidak diangkat, terjadilah pemogokan atau penggernbosan.
Lain halnya kalau dalam forum yang bersifat umum. Di sana ada Muslim dan non-Muslim. Maka seorang Muslim wajib mendahulukan orang Muslim untuk duduk di kursi kepemimpinan, meskipun mungkin ada orang non-Muslim yang punya’kemampuan lebih baik. Sebab haram bagi seorang Muslim menyerahkan wala’ (termasuk kesediaan dipimpin) kepada orang-orang kafir.

Artinya: Tidaklah seorang pemimpinpun yang mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian tidak bersunguth-sungguh, dan tidak ,memberi nasihat kepada mereka,, ,melainkan dia kelak tidak masuk surga bersama-sama mereka. (HR. Muslim}.

pemimpin yang telah menerima amanah kepemimpinan harus secara bersungguh- sungguh melaksanakan tugasnya dan mnemberikan nasehat kepada ummatnya. Karena memang di antara kewajiban para pemimpin adalah menasihati ummat dan menerima nasehat dari ummat.

Artinva: ‘Tidak seorang hamba pun yang Allah angkat menjadi pemimpin suatu rakyat, yang dia mati pada saatnya tiba sedang dia tidak bersifat terbuka kepada rakyatnya emlainkan Allah haramkan baginya surga (HR. Bukhari dan Muslim)

Keterbukaan dalam mengelola amanah ummat sangat diperlukan. Sebab kontrol dan ummat dapat menjaga kelurusan perjalanan kepemimpinannya. contoh yang cemerlang terjadi pada saat kekhilafahan Umar bin Khathab. Pada saat beliau akan menyampaikan Sesuatu, salah seorang warga menginterupsi bahwa Ia tidak akan mernatuhi perintahnya sebelum dijelaskan darimana bahan pakaian yang Ia pakai. Sebab jatah pakaian yang dibagikan tidak mungkin cukup untuk Umar yang berbadan besar. Umarpun memanggil anaknva, Abdullah bin Umar untuk menerangkan bahwa bagian dia (Abdullah) diserahkan kepada ayahnya agar cukup untuk pakaiannya. Setetah itu barulah sang rakyat menyatakan kesiapannya untuk patuh. Tidak sebaliknya, kalau ada dari kalangan rakyat yang mengusik proyeknya atau usaha sanak famili sang penguasa, maka dengan berbagai dalih orang tersebut dijerat hukum; dan jabatannya, kalau ada, mulai dipreteli satu persatu. Itu jelas model kepemimpinan yang zhalim.

Sifat Pemimpin Ideal

Berbicara masalah pemimpin ideal, tentu saja perhatian kita terarah kepada sosok pemimpin teladan, yaitu Rasulullah saw. Sebab kepemimpinan beliau bukan saja diakui oleh kaum Muslimin, tetapi tidak sedikit dari kalangan non-Muslim yang juga mengakui kehebatannya.
Mahmud Syeit Khaththab dalamn bukunya “Ar-Rasul Al-Qaid” menyebutkan beberapa sifat kepemimpinan Nabi saw. yang mendukung keberhasilannya. Meskipun analisis penulis banyak dilihat dari sisi militer, sesuai dengan profesi beliau, namun tampaknya cukup relevan untuk kepemimpinan secara murni.
Jendral Mahrnud Syeit Khaththab menyebutkan sifat-sifat pemimpin itu di antaranya:

1. Dapat memberikan keputusan yang benar dengan cepat
Seorang pemimpin harus mampu mengarnbil keputusan yang benar dengan cepat di saat tertentu. Sebagaimana Nabi saw. dapat dengan cepat memutuskan agar basis kaum Muslimin ketika menghadapi kuffar Quraisy di Badar, dibangun di dekat sumber air. Sebab air merupakan kebutuhan fital, apalagi dalam peperangan. Sehingga dengan demikian musuh tidak mendapatkan air dan tentu saja tidak akan dapat bertahan lama.

2. Memilih kepribadian yang berani
Pemimpin yang pengecut tentu saja akan menyulitkan ummatnya. Sebagai pemimpin teladan Nabi saw. memiliki keberanian yang sangat baik. Suatu ketika di saat perang, Nabi saw. meminta beberapa shahabat untuk bersama beliau. Di malam hari ada suara hingar bingar. Para shahabat yang bersama beliau terbangun dan cepat-cepat menuju ke arah suara. Tetapi ternyata Nabi saw. sudah kembali dari sana dan mengatakan: “Kembalilah, itu hanya suara angin gurun”.

3. Berkemauan kuat dan tetap
Upaya orang-orang kafir untuk menggoyah da’wah Islamiyah yang dilakukan oleh .nabi saw. tidak henti-hetinva. bujukan, rayuan, ancaman dan bahkan teror mental dan fisik silih berganti. Namun dengan idzin Allah beliau tetap tegar dan berkemauan kuat untuk terus memperjuangkan kalimah Allah yang mulia itu.

4. Mengemban tanggungjawab tanpa ragu-ragu
Ketegaran dalam menjalankan tugas da’wah yang dilakukan oleh Nabi saw. menunjukkan rasa tanggung jawabnya yang demikian tingginya. Kesemuanya itu dilakukan dengan penuh keyakinan dan terjauh dari segala bentuk keraguan. Maka seorang pemimpin haruslah dapat membangun rasa tanggung jawab di atas dasar keyakinan yang kokoh. Dan keyakinan yang kokoh itu baru dapat terwujud manakala merujuk kepada rujukan yang kokoh pula, yaitu manhaj Rabbani, kitabullah dan sunnah Rasul-Nya saw.

5. Kejiwaan yang stabil baik dalam keadaan menang maupun dalam keadaan kalah
Di saat berjuang dengan berbagai intimidasi, Nabi saw. tabah dan sabar. Dan ketika kemenangan sudah di tangan, musuh sudah bagaikan tikus dihadapan kucing, Nabi saw. tidak lantas sombong dan zhalim semaunya. Beliau justru memberikan kemaafan kepada orang-orang yang dulunya memusuhi beliau pada saat Fathu Makkah.

6. Berpandangan ke depan
Ketika sebagian butir-butir perjanjian hudaibiyah menggelisahkan beberapa shahabat, Nabi saw. tetap tenang. Sebab meskipun secara lahiriyah point-point tersebut merugikan, tetapi jangka panjangnya sangat menguntungkan. dan hal tersebut terbukti dua tahun kemudian dengan terjadinya penaklukkan kota Makkah (Fathu Makkah).

7. Memahami kondisi kejiwaan bawahannya
Shafwan bin Umayyah adalah orang yang membenci Nabi saw. Lalu pada Perang Hunain Nabi saw. memberikan kepadanya bagian ghanimah. Akhirnya ia berkata:
"Nabi saw. biasa memberiku bagian ghanimah (Hunain), padahal sebelumnya Ia orang yang paling Saya benci, sampai Allah swt. tidak menjadikan Seseorang yang paling kucintai selain beliau".

8. Saling percaya
Pada perang Badar, meski hanya 300 shahabat harus menghadapi 1.000 pasukan kafir, tetapi Nabi saw. tidak meragukan kualitas dan komitmen para shahabatnya. Tentu saja demikian pula keyakinan para shahabat terhadap Nabi saw. Sehingga perjuangan dapat berjalan dengan baik.

9. Kecintaan secara timbal balik
Pada perang Uhud, bukan hanya para shahabat lelaki yang berjuang mati-matian, para shahabiyah (shahabat wanita) juga tidak mau tertinggal pada front tersebut. Salah seorang dari mereka adalah Nusaibah. Ia terluka parah ketika itu hingga pingsan. Namun begitu siuman yang ia tanyakan bukan keadaan anak atau suaminya, tetapi bagaimana keadaan Nabi saw. Begitu besar kecintaannya kepada Nabi saw. yang tentu saja hal tersebut terjadi karena Nabi saw. juga sangat mencintai umatnya.

Khatimah

Mencari calon pemimpin yang ideal dari segala sisinya tentulah sangat sulit. Kalau terlalu kaku dalam memilih bisa-bisa tidak ada yang laik untuk diangkat menjadi pemimpin. Padahal adanya pemimpin sangatlah penting, yang menurut para ularna’, sebagai ri’ayatuddin (menjaga agama) dan siyasatud dunia (mengatur permasalahan duniawi). Oleh karena itu Syaikhul Islam lbnu Taimiyah dalam bukunya “Siyasah Syar’iyah” menyebutkan perlunya proporsionalisme dalam memilih pemimpin, yaitu sesuai dengan bidang yang diperlukan. Umpamanya dibutuhkan seorang yang ahli rnengelola proyek ekonomi, tentu saja dicari yang memang punya potensi dan kemampuan dibidang tersebut, meskipun kadang-kadang tidak terlalu sering puasa Senin-Kamis.
Mudah-mudahan dengan upaya bersama mengkaji, memahami dan berlatih menerapkan nilai-nilai Islam dalam masalah kepemimpinan kelak akan lahir pemimpin yang dapat membawa ummat Islam kepada kejayaannya yang kita harapkan. Amien ya Rabbal ‘alamin.

1 komentar: