Senin, 13 Maret 2017

Pemikiran Sosial Al-Ghazali


Dalam mengkaji pemikiran sosial al-Ghazali kaitan harus diberikan kepada kekuatan ruang waktu karena al-Ghazali merupakan pemikir Muslim pertama yang sangat mempercayai fenomenologi. Tidak Seperti Hurse, fenomenologi, Ghazali sarat dengan gagasan dan pengertian. Tesis sosiologisnya yang penting didasarkan atas ide kepemimpinan yang secara konstan dirujuk oleh pemikir sosial Muslim dalam istilah umum lmamah. Imamah adalah keharusan karena merupakan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan di dunia. Imamah ialah lembaga yang tak bisa ditawar tergantung pada Ijma komunitas sepeninggal Muhammad saw. ketika pemeliharaan tata keagamaan dan kepolitikan membuat penempatan jabatan yang cepat atas perintah Imam. Tetapi Ijma ummat tak cukup, karena “tata kebaikan agama” dicapai hanya “melalui seorang Imam yang ditaati”. Pada kenyataannya, “tata kebaikan agama”hanya mungkin terjadi melalui “tata kebaikan dunia” yang pada gilirannya, tergantung pada “Imam yang ditaati”. Agama dan kekuasaan (temporal) adalah saudara kembar. Ad-Din adalah fondasi dan kekuasaan secara mudah berarti pemeliharaan dan penguatannya. Tekanan pada kekuasaan adalah signifikan meski hanya sarana untuk mencapai tujuan. tujuannya adatah terwujudnya tata kebaikan agama dengan Sa‘adah al Akhirah atau Sa’adah al Qashwa.

Al-Ghazali akan tercatat secara menonjol dalam sejarah pemikiran sosiologis Muslim dengan sumbangannya di lapangan sosiologi perang dan sosiologi pengetahuan yang pertama masih belum dikenal dalam pemikiran modern dan yang kedua menjadi pusat perhatian setelah Perang Dunia Kedua. Kemampuan untuk mengerahkan Jihad ditentukan oleh pemilikan sifat kejantanan dan keberanian ( Najdah wa Syuja’ah). Jihad selalu dinyatakan sebagai salah satu tugas utama sang Khalifah. Demikian pula teori al-Ghazali tentang Taqlid sangat penting. Ia menekankan bahwa Taqlid lebih bermanfaat di masa krisis dan ikhtilaf yang luas ketimbang ljtihad. yang selama krisis mengarah pada distegrasi lebih jauh. Masalah Taqlid beserta penyebab dan konsekuensinya memberi Ghazali kesempatan untuk mengkaji ulang problema sosialogis fundamental. JikaTaqild (imitasi) adalah kunci fenomena sosial, maka hubungan sosial yang khas adalah “guru-murid” dalam beragam variasi. Ia menekankan penyebab taqlid secara asasi bersifat internal meski dibentuk dan ditunjang oleh situasi kelompok. Pembuktiannya yang menekankan imitasi secara esensial merupakan sebuah dasar konseptual untuk dapat menguraikan permasalahan sosiologis krusial, yakni proses yang dialarni individu ketika menyatu dengan kelompok dan masyarakat. Jadi, Ghazali menjelaskan struktur sosial yang menempatkan prilaku individu atau imitasi sebagai cerminan model atau sistem nilai umum. Ia menegaskan berulangkali bahwa dalam pembangunan masyarakat, kompleksitas dan diferensiasi sejalan dengan peningkatan terutama sekali kepercayaan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasional.

Dalam teori dan klasifikasinya tentang pengetahuan, Ghazali menggaris bawahi di antara perkara lain tentang tabiat prediktif pengetahuan. Inti pemikirannya adalah pengetahuan untuk peramalan, dan peramalan untuk pengawasan. Kaitan prediksi semacam itu bagi Ghazali bukan kebetulan, tetapi lebih merasuk pada pejalanan sains dan pengetahuan. Hal ini merupakan topik khusus yang menghendaki dengan sendirinya rincian analisis dan penelitian. Karena ilu kita berbuat tidak adil terhadap teori pengetahuan Ghazali dalam ruang terbatas sekedar penyinggung gambarannya yang menjulang.

Ghazali adalah penyumbang utama untuk bidang yang dalam bahasa jerman disebut Wissensociologic atau sosiologi pengetahuan. Dalam kitab Ihya’ dan karya lain. ia mengembangkan dan melukiskan teori tentang beragam gagasan atau pengetahuan yang bethubungan dengan struktur dan tujuan masyarakat yang diterapkan dan dipelihara. Kelompok konservatif, sebagai misal, ditekankan Ghazali menciptakan dan memelihara pandangan statis tentang dunia, sementara kelompok progresif menerima pandangan dinamis. Pengetahuan adalah sebuah struktur masyarakat Melalui bidang penelitian ini Ghazali mengerjakan seluruh pasang surut produk kebudayaan yakni determinan sosial terhadap perspektif intektual
Kajian tentang fenomena keagamaan dan pengalaman reljius yang menjadi gamblang hanya baru-baru ini, telah dipelopori oleh al-Ghazail. Keutamanya ialah mengelompokkan basis sosial bagi produksi mental. Catatan pengalaman keagamaannya dalam 1hya’ dan al-Munqidz menunjukkan bahwa dibalik norma terdapat sistem simbol - sistem makna superiordinat yang memberi arti dan koherensi bagi norma tersebut. Pemikir Barat modern, Robert N. Bilah, menyalakan bahwa sistem makna superordinat mungkin atau tidak mungkin relijius, tetapi Ghazali sejak lama menegaskan bahwa superordinat mesti relijius dengan pengertian meminta otoritas transendental Relevan gagasan ini bagi masalah penjernihan fungsi integratif agama ialah dapaf melengkapi Sebuah basis penjenjangan norma masyarakat dengan memperhatikan tatanan tertinggi yang memberi mereka makna. Setelah norma dirangking, maka dapat dibedakan sanksi yang merujuk pada otoritas transendental dengan sanksi sekular Di bawah usahanya untuk menjernihkan agama dan pengalarnan keagamaan, terdapat pengertian implisit bahwa kepercayaan agama memiliki implikasi terhadap nilai yang mengatur persepsi dunia soaial.
Simpulannya, dapat dibenarkan untuk menegaskan surnbangan besar pembentukan fondasi Epistimologi oleh Ghazai. Rosenthal salah memahami Ghazali ketika Ia mengatakan Syara’ telah digantikan oleh Wara’. Persoalannya bukan begitu. Ghazali secara sederhana memaksudkan Syar’i harus bergandeng tangan dengan Wara’ untuk memadukan kehidupan, agar sepenuhnya sejalan dengan pola orientasi nilai islam. Tak diragukan, takut kepada Allah adalah akar kehidupan sosial yang terpadu. Hal ini, sekali lagi tak diragukan. merupakan basis keberadaan masyarakat, kepribadian dan kebudayaan, serta mengulang praktik keraguan merupakan kualitas moral. Hukum sosiologis tentang pengawasan, tekanan dan pembatasan secara eksplisit melibatkan kategori takut kepada Allah. yang telah dinyatakan sebagai sebab utama kebangkitan kaum Muslimin oleh orientalis Jerman Daniel Heineberg.

Gambaran lain dari pemikiran sosial Ghazali terlihat dalam aksidisasinya tentang pengetahuan dan kerja pengembangan masyarakat serta kebudayaan. Ma’rifah dan pengabdian kepada Allah (Ibadah) menjamin tata kebaikan agama (Nidhamuddin). dicatat bahwa Ad-Din digunakan oleh Ghazali dalam pengertian menyeluruh untuk mencakup arti masyarakat dan budaya. Mengetahui, menurut Ghazali, adalah gambaran penuh dengan unsur keinginan dan pengaturan.
Apabila kedua unsur ini dihilangkan. maka proses mengetahui menjadi sebuah kebosanan, Logikalitas penegasan Ghazali dapat dilacak dalam analisisnya. Sebagai tujun segala kepentingan, sebuah nilai adalah hasil dari mengetahui, menginginkan, mengatur; apa yang diketahui adatalah nilai, apa yang diinginkan adalah nilai, apa yang diatur adalah nilai. Sejauh hal Itu tak ada yang salah, tetapi kesalahan muncul tatkala mengetahui- menginginkan-mengatur dlipisahkan dari sistem orientasi nilai Syari‘ah. Begitu pula menilai atau penilaian harus digunakan untuk membentuk segenap aktivitas manusia yang dibahas nilai dalam pengertian kebutuhan yang dikelompokkan oleh pemikir Jerman dalam kerangka rujukan Ma’rufah.
Epistimologi dasar yang diangkat dalam kesimpulan bahwa mengetahuli menginginkan dan mengatur adalah sifat khusus manusia, karena peristiwa kombinasi demikian hanya dalam konteks budaya. Hal ini mewakili tindakan-tindakan timbal-balik yang mengaitkan kebutuhan dan nilai, di mana tindakan dalam kerangka itu dapat dipandang sebagai penilaian.

Dalam pemikiran sosiologis Ghazali. teori nilai yang sepenuhnya dilupakan oleh cendekiawan barat dan Timur. adalah sangat penting, karna itu memerlukan beberapa tanggapan. Bagi Ghazali hukum, prinsip dan aturan yang dimunculkan dan dihasilkan oleh Qur’an dan Sunnah adalah nilai yang paling penting. Dan di atas aturan yang disebutnya syari’ah serta melalui karyanya dibangunlah teory organisasi sosial. Dari definisi nilai sebagai obyek penuh makna menuju subyek ini, digabungkan dengan penekanan aturan (Awamir) sebagai nilai, pengertian konsep nilal bagi sosialis Muslim telah dialihkan, Sehingga unsur normatif yang mendirikan nilai menjadi kritena yang lebih menentukan dibanding unsur obyektivitas. Perhatian utama Ghazali ialah menetapkan tesis dalam kaitannya dengan struktur masyarakat, nilai merupakan obyek esensial dari sosiologi gagasan al-Ghazali ini mendapat ungkapan modern dalam karya Thomas dan Zranjecki (The Polish Peasant in Europe and Amerika) serta Celestin Bougle (Jugement de Value et Judgements de Realiste).

Bentuk konsesi dasar yang baru mulai melangkah, sebagaimana penelahan dan pengakuan terhadap konsepsi tatanan. Konsep nilai memainkan peran penting dalam perkembangan ini, seperti perhatian konstan terhadap peran sistem aturan normatif dan gagasan moral dalam kehidupan sosial. Ada dua aspek teoritis penting dalam perubahan ini. Yang pertama memungkinkan untuk memandang nilai dalam dimensi obyekfif dan institusional sekaligus. Dengan kata lain, prilaku sosial, dalam bagian tertentu, merupakan refleksi subyektif dan aturan sosial. Pengalaman keagamaan, dan sudut pandang fenomenologis, adalah sebuah situasi; Sehingga tipe definisi situasional merupakan hasil refleksi pelaku meskipun tetap berlaku sebagai sebuah situasi nyata dan bagian integral dan tindakan pelaku dalam situasi tersebut.

Kaum sufi dan pemikir Muslim seperti Ghazali menegaskan pengalaman keagamaan dalam pengertian rujukan kepada sistem nilai. Jika nilai menentukan fakta dan membentuk kesatuan dalam sistem sosial menurut kerangka keterbatasan fungsional sebelum tuntutan sistem sosial dan sistem kepribadian, maka dalam ukuran besar nilai teisebut yang menentukan bentuk dominan kesatuan sosial dalam sebuah masyarakat sangat bermanfaat untuk keperluan pengelompokan masyarakat. Gagasan susulan dari Ghazali ini sepenuhnya selaras dengan sistem nilai Qur’ani. Hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka kesatuan lima “variabel pemolaan” yang mewakili lima pilar Islam, secara kualitatif telah dikelompokkan menjadi dua pokok utama Muhkamat dan Mutasyabihat.

Penegasan tasawuf dan falsafah kita adalah sejalan dengan pemikiran modern, dengan beberapa persyaratan. Bila masyarakat utama dinyatakan menyatu, maka prasyarat fungsional adalah kesinambungan karakter suci dan karismatik dari sistem nilai terpusat. Hal ini, pada gilirannya, berhubungan dengan konsekuensi dari poses rasionalisasi dalam lapangan agama dan empiris.

Seperti telah kita lihat di atas, asal mula masyarakat utama acapkali didapatkan dalam proses rasionalisasi kepercayaan agama yang berpusat pada konsep tuhan yang transendental, seruan etis, dan sebuah pandangan dunia ini. Karena itu sumbernya adalah “Suci” dalam pengertian teknis istilah tersebut Tetapi dua unsur dalam poses rasionalisasi cenderung memisahkan sistem nilai sekuler dan sumbernya; kekuasaan sebagai proses rasionalisasi berkelanjutan dalam realitas keagamaan yang sebenarnya, sementara ideobogi yang berkembang cenderung melepaskan karakter simbolisme pertengahan yang mereka miliki di masa lalu. Sehingga berkembanglah jurang antara sistem kepercayaan agama rakyat dengan sektor keagamaan para elit pemuka. Pada saat yang sama, sistem kepercayaan agama rakyat dan pemuka agama kedua-duanya menjadi pelaku yang menggerakkan kesinambungan rasionalisasi sistem kepercayaan empiric.

Dari Buku: Muslim Social Philosophy” Jamiyatul Falah Publ., Karachi, 1971, hal. 14.19. Disunting oleh: Supto Waluyo

0 komentar: