Rabu, 11 Januari 2017

HERMENEUTIKA


METODOLOGI TAFSIR ALA JIL
 


Akhir-akhir ini telah diintrudusir dan disosialisir “ilmu baru”, hermeneutika. Hal itu dapat dilihat pada tulisan-tulisan aktivis Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK), Jaringan Islam Liberal (JIL), atau yang sealiran dengan mereka, atau guru-guru mereka yang islamolog dan orientalis. Gagasan-gagasan mereka telah dipublikasikan secara luas melalui banyak media, seperti internet, radio, dan media cetak. Selain itu melalui buku-buku. Nuansa yang dapat dirasakan dalam pemikiran aktivis KIUK atau JIL itu di antaranya adalah adanya keingmnan kuat untuk menggantikan metode penafsiran AI-Qur’an dan As-Sunnah yang telah ada, berlaku dan yang berkembang selama ini dengan metode baru yang mereka namakan hermeneutika. Atau, setidak-tidaknya, menempatkannya tafsir dan ilmu tafsir pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan hermeneutika. Lebih dan itu, secara langsung atau tidak, secara sadar atau tidak, mereka sesungguhnya juga telah merendahkan dan menyalahkan para ulama yang telah berkarya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apakah demikian keadaannya? Apakah ilmu-ilmu yang menjadi bekal para ulama itu lebih rendah derajat, kelengkapan dan kesahihannya daripada ilmu baru yang dinamakan hermeneutika itu? Mengapa KIUK/JIL sebegitu bersemangat dengan hermeneutikanya? ini beberapa persoalan menarik.

Prestasi Ulama Salafush-Shaleh
Dalam sejarah panjangnya, Islam, selain telah melahirkan banyak ulama dan ilmuwan, juga telah melahirkan berbagai cabang ilmu, baik yang termasuk uluumud-diin maupun uluumud-dunya (ini sekedar pemilahan, jadi bukan pemisahan dan pembedaan). Karya para ulama salaafush-shaleh itu ada yang telah ditulis dan diterbitkan, yakni kitab-kitab tafsir yang mu’tabar. Baik kitab tafsir bil-ma’sur (bir-riwayah) seperti Kitab Tafsir ibnu Katsir karya Ismail bin Umar ad-Dinasqy, kitab-kitab tafsir birra’yi, seperti Kitab Tafsir ar-Razi karya Muhammad bin Umar Husain ar-Razi, maupun tafsir isyari seperti Tafsir an-Naisaburi karya Ahmad bin Ibrahim an-Nisaburi, dan lain-lain. Insya’ Allah kitab-kitab itu termasuk mu’tabaratu standar. Kitab-kitab tafsir tersebut telah berlalu sekian lama dan tetap memiliki kualitas yang cukup berbobot. Semuanya masih menjadi maraji’ (referensi) para ulama yang lain dari mahasantri yang menuntut ilmu, khususnya di berbagai perguruan tinggi Islam terkenal di dunia. Bahkan kini telah ada tafsir baru yang sangat populer, yang juga menjadi referensi/rujukan penting di perguruan-perguruan tinggi Islam tersebut dan menjadi rujukan bagi para aktivis da’wah Islam. Kitab tafsir itu adalah Fii Dzilaali al-Qur’aan (Di Bawah Naungan Al-Qut’an) karya Sayyid Quthb, yang kemudian dilanjutkan oleh Said Hawwa dengan Al-Asaasu Fii at-Tafsiir.
Kedua tafsir tersebut betul-betul telah menggunakan metode baru yang sangat memperhatikan persoalan kontemporer. Insya’ Allah mereka telah menggunakan suatu metode yang tidak kalah dengan hermeneutika yang sangat digemari oleh kelompok KIUK atau JIL tersebut. Sayang, kitab-kitab tersebut tidak pernah disinggung atau diungkapkan secara obyektif oleh KIUK dan JIL. Bahkan mungkin menjadikan alergi bagi telinga mereka.
Sekedar informasi, bahwa Al-Sa’di telah meinggalkan pada kita karya yang sangat berbobot dalam metodologi tafsir, yakni Al-Qaqwaa’id Al-Hisaan li Tafsiir Al-Qur’aan, yang kemudian disusun ulang dan disempurnakan oleh Drs. Abd. Rahman Dahlan, M.A. menjadi Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran (Mizan, 1997). Di dalam buku itu aspek bahasa (yang menjadi tumpuan hermeneutika) hanya salah satu aspek saja dari kaidah-kaidah penafsiran terhadap Al-Qur’an.
Tentang Hermeneutika dalam Pandangan JIL Kata itu berasal dan bahasa Yunani hermenia (kata benda) atau hermeneuin (kata kerja) yang artinya menafsirkan. Secara terminologis, hermeneutika diartikan sebagai ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang lain, khususnya yang berbeda jauh dari rentang sejarah. “Problem hermeneutika dalan konteks bahasa agama”, kata Musahadi HAM dalam Evolusi Konsep Sunnah, “adalah bagaimana menjelaskan isi sebuah teks keagaman kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda”.
Dalam proses pemahaman, penafsiran dan pemaknaan, hermeneutika digambarkan oleh Musahadi HAM dengan struktur triadik interpretasi, yaitu (1) tanda (sign), pesan (message) atau teks, (2) perantara atau penafsir, dan (3) audiens. Sedangkan menurut Ahmad Fuad Fanani dalam tulisannya, “Hermeneutika Pembebasan dan Tafsir Alquran” (Jawa Pos,), dalam hermeneutika selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca. (Jadi, ada penyamaan antara penafsir dengan pengarang? ) Yusuf Rahman, dalam “Kajian Hermeneutika Pluralitas Tafsir Quran” (Jawa Pos), menjelaskan bahwa dalam hermeneutika, ada dua hal yang hams diwaspadai (diperhatikan), yakni adanya (1) pra anggapan dan ideologi, dan adanya proses distansi (penjarakan). Distansi yang pertama adalah jauh dan pengarang (distaniated from author), dan kedua, distansi dengan konteks (distanciated from context). Dalàm pra anggapan, katanya, bersifat terbuka dan menerima kritik, sedangkan dalam ideologi membutakan dan menulikan.
Dengan hermeneutikan itu, kelompok KIUK atau JIL sebegitu yakin akan kemampuannya untuk memperoleh “ketepatan pemahaman” (subtilitos intelegendi) dan “ketepatan penjabaran” (subtilitas ecsplicandi).
Hermeneutika, menurutAhmad Fuad Fanani, merupakan sebuah “metode penafsiran yang memadahi pada saat sekarang”. Kemudian Ia melanjutkan, bahwa “metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an”, Dalam ungkapan Syamsul Arifin, dalam “Menakar Orientasi Islam Liberal” (Jawa Pos,), untuk memahami syari’ah “Perlu topangari hermeneutik”. Jadi dengan cara pembacaan syari’ah yang ditawarkan itu, Islam liberal memberikan banyak pilihan kepada umat Islam dalam memahami agamanya, kata Syamsul dalam mengakhiri tulisannya.
Saking semangatnya terhadap hermeneutika, Ahmad Fuad Fanani sampai pada sikap yang irrasional dan inkonsisten. Misalnya, Ia mengintrudisir peran hermeneutika yang sangat luas. Ia menggagas “hermeneutika pembebasan”. Dikatakannya, “Tugas hermeneutika Alquran yang mendesak pada saat sekarang adalah pembebasan sosial kemanusiaan dari berbagai eksploitasi yang merugikan”. Lebih dari itu ia sangat terkagum-kagum pada “guru besarnya”, Arkoun. “Mohammed Arkoun”, katanya, “mungkin orang yang sangat tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-quran.” Bersama Faziur Rahman diakatakannya sebagai “dua mufasir terkemuka” dan sebagai orang yang memiliki “prestasi intelektual yang brilian”. Wuiih.
Beberapa Catatan Setelah mengetahui sekilas tentang hermeneutika dan bagaimana sikap dan pemikiran pengintrudusrnya (yakni orang-orang KIUK), maka penulis merasa sangat perlu untuk memberikan masukan, kritik, atau catatan. Mudah-mudahan hal ini akan dapat terjadi wacana yang mencerahkan, baik terhadap rekan-rekan yang ada di KIUK dan yang sepaham dengannya maupun bagi siapapun yang mempunyai perhatian terhadap kebangkrutan dan kebangkitan ummat. 

Pertama, diakui sendiri oleh orang-orang KIUK, bahwa hermeneutika adalah “problema bahasa”. Sebagaimana dikatakan Ahmad Fuad Fanani, “Diskursus hermeneutika tidak bisa dilepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa Perlu diingat, bahwa Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnahnya bukanlah semata-mata persoalan bahasa, bukan sekedar persoalan teks dan konteks. Ia merupakan petunjuk yang sangat kompleks. Oleh karena itu pendekatan yang hanya mengandalkan bahasa akan sangat jauh dari memadahi.
Al-Qur’an telah menjelaskan dirinya. Di antaranya, sebagaimana telah kita mafhum, adalah sebagai Hudan lil-naas. Sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dalam menempuh kehidupan di dunia ini. Dan secara spesifik dikatakan sebagai Hudan lil-Muttaqin. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Sebagai petunjuk hidup, tentu Al-Qur’an mempunyai kelengkapan dimensi dengan segala kompleksitasnya. Karena itu sangatlah berlebihan jika menjadikan hermeneutika sebagai metodologi tafsir yang relevan dan memadai. Apalagi sampai pada gagasan menjadikannya sebagai pembebasan dan eksploitasi. 

Kedua, mereka megkontantir bahwa hermeneutika merupakan metode yang memadahi dan relevan pada saat ini, sehingga akan memperoleh ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran. Seolah-olah tanpa hermeneutika tidak akan bisa memperoleh ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran. Dengan demikian mereka sepertinya ingin mengatakan, “jika saat ini tidak menggunakan hermeneutika, maka tidak akan dapat memahami dan menjabarkan Al-Qur’an secara tepat”. Atau ingin mengatakan, “Metode tafsir yang sekarang ini ada, selain hermeneutika tidak lagi relevan dan tidak akan dapat menghasilkan ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran Al-Qur’an”. Dengan demikian itu sesungguhnya, sengaja atau tidak, mereka telah merendahkan para ulama salaafus-shaleh, khususnya para mufassir yang telah berprestasi sesuai pada zamannya. Sepertinya mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa metodologi tafsir. Ini berarti pula bahwa mereka telah merendahkan karyanya yang berupa kitab tafsir maupun kitab-kitab lainnya dalam memahami Islam. 

Ketiga, dalam membicarakan hermeneutika, mereka menjujung tinggi persoalan sosio-historis suatu karya. Anehnya, mereka tidak mau mengerti dengan keberadaan para mufassir, metodologi yang dipakainya. Mereka tidak mau memahami mengapa para ulama membuat tafsir seperti itu; tidak mau mengerti bahwa sesungguhnya mereka (para mufassir) telah menghasilkan dan menggunakan sutu metodologi dalam menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan sepertinya orang-orang KIUK tidak mau mengakui kitab tafsir kontemporer seperti Fit Dzilaali al-Qur’an dan AI-Asaasu Fit at-Tafsiir. Sebuah sikap yang kontradiktif. Bukankan ini sebuah sikap yang ahistoris? 

Keempat, Sesungguhnya ketika seseorang atau kelompok orang melabeli Islam dengan label tertentu, dengan sendirinya telah melakukan degradasi Islam itu sendiri. Begitu juga ketika mereka mengitrudusir kata Islam Liberal, mereka telah menempatkan diri pada ideoligi tersendiri: liberalisme. Dan ternyata, dengan label itulah mereka telah “membutakan” diri dan “menulikan” diri mereka sendiri. Dengan label yang disandangnya itu, KIUK tidak lagi menempatkan “pra anggapan” yang mereka junjung tinggi, tetapi telah masuk pada “prasangka ideologis” yang mereka katakan “membutakan” dan “menulikan”.
Kritikan yang telah banyak dilontarkan berbagai pihak, ternyata tidak atau belum ada yang dapat menjadikan masukan buat mereka. Sebagai contoh atas keliberalan mereka ada yang sangat ekstrim dan keblinger (pinjam istilah Hidayat Nataatmadja), yakni gagasan “Sikretisasi Etika Kemanusiaan dan Agama-Agama”-nya Andi Munir Mulkan (Kompas,).
Ia sudah merasa tidak cukup dengan Islam, sehingga harus “diramu” dengan agama-agama lain. Padahal Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “Janganlah engkau campur adukkan yang haq dengan yang bathil, padahal engkau mengetahui” (QS A1-Baqarah:42). Yang tidak kalah dengan gagasan tersebut adalah gagasannya Komaruddin Hidayat dan Zuly Qodir yang ingin mengganti agama, termasuk Islam, dengan agama baru yang dinamakan “civil religion” atau “agama sipil” (Kompas). Agama Sipil yang oleh Andi Munir Mulkhan dikatakan sebagai agama yang “tanpa kitab suci dan tanpa nabi atau rasul”. 

Kelima, sesugguhnya ketika penafsiran terhadap ayat-ayat Allah dilandasi ideologi liberal dan dengan metode hermeneutika, maka pastilah akan terdapat kontradiksi tajam yang sangat banyak dalam pemahaman dan penjabarannya. Tidak saja kontradiktif di antara orang-orang KIUK dan semacamnya, tetapi otomatis akan bertabrakan dengan pemahaman dari orang lain. Karena itu keinginan untuk memperoleh ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran hanyalah utopia belaka. 

Keenam, salah satu penghambat berpikir adalah emosi. Ketika seseorang/ kelompok terlalu kagum pada sesuatu, akan menjadikan terganggu rasionalitasnya. Dan ternyata orang-orang KIUK/JIL terlalu mengagumi dan menyanjung Arkoun dan Faziur Rahman. Akibatnya mereka kurang bersikap rasional dan tidak obyektif lagi. Misalnya, mereka tidak mengakui (atau tidak mengetahui?) bahwa ilmu tafsir telah mempunyai metode yang lebih dari hermeneutika, tidak menghargai adanya Tafsir Dzilal dan Tafsir Asas, yang berarti juga tidak mengakui keberadaan Sayyid Quthb dan Said Hawwa sebagai mufassirnya. 

Ketujuh, adanya kesalahan yang cukup fatal, yang barangkali menjadi awal kesalahan-kesalahan yang lain, yakni kesalahan paradigmatis di kalangan KIUK. Mereka menganggap disadari atau tidak, disegaja atau tidak bahwa Al-Qur’an disamakan begitu saja dengan teks-teks kuno yang sepenuhnya produk budaya, yang karenanya dapat didekati dengan herrneneutika.
Mereka telah terkontaminasi oleh ilmu-ilmu modern seperti Sosiologi dan Antropologi yang menganggap agama sebagai unsur kebudayaan, yang berarti juga sebagal produk cipta, rasa, dan karsa manusia. 

Kedelapan, ini juga kerancuan dalam beipikir dan bersikap. Mereka membenturkan antara pra anggapan dengan prasangka idiologi, dan secara implisit dengan serta merta menyamakan begitu saja antara orang yang berpegang teguh pada Islam dengan ideologi, atau menyamakan Islam dengan ideologi buatan manusia. Setelah itu mereka mengklaim bahwa ideologi itu membutakan dan menulikan, sementara pra anggapan dikatakan sebagai terbuka dan menerima kritik. Mereka menerapkan yang baik-baik (pra anggapan) untuk dirinya sendiri. Ibarat bakul kecap. Ini kekej ian yang cukup keterlaluan. Sejarah panjang perjalanan Islam, telah membuktikan bahwa para ulama salaafus-shaleh termasuk yang menjadi mufassir, bukanlah orang yang angkuh dan menutup diri. Mereka sangat terbuka untuk berdialog dan menerima kritik maupun masukan. Mereka orang-orang yang alim dan tawadhu’; orang yang jujur, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. 
Kesembilan, sesungguhnya Al-Qur’an sendiri telah mengugkapkan adanya orang-orang tertentu yang disebut sebagal ‘fii qulubihin zaighun”, orang-orang yang di dalam hatinya (ada penyakit) menyimpang. Mereka itu mengikuti ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasaabihaat (samar, tasabuh, makna ganda) dengan maksud menimbulkan fitnah, mereka manakwilan (menafsirkan) ayat-ayat sesuai denga hawa nafsu dan syahwatnya (QS Ali Imran:7). Dalam Al-Qur’an kata “zaighun” disebutkan 9 kali dalam sekitar 8 ayat yang semuanya berkonotasi negatif, yakni menyimpang dari kebenaran yang lurus. Penulis sangat khawatir, jangan-jangan dengan Islam liberalnya itu, orang-orang KIUK’JIL atau yang sepaham dengan mereka menupakan bagian integral dan yang disiyalir Al-Qur’an tersebut. Kepada Allah mari kita bertaubat. Astaghfirullahal ‘adhiim.
Wallahu a’lam bishawab

0 komentar: